------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Selingan: Dia yang memilih tombak.
Nama | Giga Rax |
Ras | Goblin |
Level | 87 |
Kelas | Noble; Guardian |
Skill | Spearmanship C+; Overpowering Howl; Omnivorous; Instant Kill; Adherent of the King; Spear Throwing; Warrior's Soul |
Perlindungan Ilahi | None |
Atribut | None |
Abnormal status | Karena tangan kanan dan kaki kiri tak bisa digunakan, kekuatan tempur berkurang 60% |
Setelah mengantar kepergian Ketua, Giga berterimakasih pada Gida, yang akan mendukungnya setiap hari.
Dengan tombak sebagai tongkat, Giga berjalan dengan susah payah.
Karna Ketuanya pergi, Giga sekarang adalah goblin tertinggi didesa. Walau dia tidak terhitung sebagai bagian dari prajurit...
Itu fakta yang sangat memalukan.
Bersama Tangan kiri yang memegang tombak dan kaki kanan melompat-lompat, dia bisa berjalan.
Segalanya berjalan dengan susah. Ketika makan dia perlu meletakan tombaknya sebelum menguyah daging. Ketika mau menggenggam sesuatu, dia harus menancapkan tombaknya ketanah sebelum bisa meraih itu.
"Guu…"
Itu adalah luka kehormatan karna melindungi Raja.
Dia tau itu.
Dia tidak menyesali itu.
Bersama dia dan goblin lain yang kehilangan tubuh, mereka semakin lemah hari demi hari, persediaan makanan mereka terus berkurang dan berkurang. Jika terus begitu, pasti mereka akan mati.
Tidak satupun dari mereka bisa berjalan sendiri untuk mendapat makan.
Sangat menyakitkan. Bukankah dia hanya kehilangan sebuah tangan dan kaki?
Kenapa dia harus mati karena sesuatu seperti itu? Mati diluar peperangan seperti itu....
Sesuatu seperti itu tidak bisa dimaafkan.
Raja bilang...
Berdiri bersamaku sekali lagi, dan bertarung!
Jika begitu... Maka!
Maka!
Tugasnya saat ini adalah menunjukan pada Raja bahwa dia bisa bertarung hanya dengan satu tangan dan kaki!
Dia mengeratkan giginya.
Dia memenuhi tombak yang dia gunakan sebagai tongkat dengan kekuatan.
Menggunakan itu sebagai lompatan, dia menerbangkan tubuhnya untuk sesaat. Dengan waktu sedikit itu, dia menggenggam erat tombak dan mengayunkannya kesamping.
Sebuah ayunan kuat yang cukup untuk membelah angin. Setelah ayunan itu tubuhnya tak mampu menyeimbangkan diri, dan jatuh ketanah.
Ketika itu, tanpa sengaja luka-lukanya terkena.
"Gi, GiiGi"
Api menyebar dihadapannya.
Rasa sakit yang begitu hebat mulai menyelimuti. Saat rasa sakit itu mengalir ditubuhnya, dia terengah-engah.
Aku kehilangan kaki. Siapa yang menyangka ini akan sangat menjengkelkan?
Tidak ada alasan baginya untuk terus tergeletak ditanah. Dan dengan salah satu tangan, dia gagal menyeimbangkan dirinya sendiri.
Dia menunggu rasa sakit itu surut. Sesudah itu, dia mengangkat dirinya lagi dengan bantuan tombak.
Kali ini dia mencoba bersandar dipohon, dan mengayun-ayunkan tombaknya.
Tapi dia tidak bisa menaruh kekuatan di ayunannya itu.
Apa yang harus ku lakukan? Apakah aku harus...
Dia terus berusaha dan berusaha, tapi setiap kali dia mencoba, dia gagal.
Tanpa dia sadari, dia sudah terbaring ditanah memandang langit biru.
Aku kehilangan tangan dan kaki... Pasti, kekuatanku akan meninggalkan diriku...
Giga menutup matanya sekali lagi.
Aku tidak akan mati, kan?
Ketika aku bangun, aku akan berusaha mengayunkan tombakku lagi.
◇◆◇
Lili mempunyai banyak waktu sekarang karna ia taklagi mengurusi para pengungsi. Ia menggunakan waktu itu untuk berpatroli desa. Jika para manusia dan goblin mulai berselisih, hari-hari ketakutan dan strees akan kembali.
Ia lebih memilih bertahan jika begitu.
Meski itu agak berbeda dari bersantai, Lili ingin menikmati hari itu dengan baik.
"Lili-sama, apa ada masalah?"
Orang yang memanggilnya adalah si-goblin penyihir air, Gizo. Seorang goblin dengan penampilan menyerupai manusia. Sosok tinggi dan ramping, berkulit merah, berpupil sempit, dan bertaring tajam yang keluar dari mulutnya... Jika tidak ada itu, dia bisa dengan mudah dianggap sebagai manusia.
Dengan jubah menutupi tubuh, dia seperti seorang pelajar.
Sambil Lili memikirkan hal itu, ia menjawab goblin.
"Tidak ada, aku hanya berpatroli. Jumlah kami juga bertambah, jadi akan menyusahkan kalau ada masalah terjadi."
Mendengar itu, Giza tertawa.
Dari perspektif Lili, tawa itu tidak lebih dari ejekan, tapi pada kenyataannya, goblin itu hanyalah sekedar tertawa. Seperti yang diharapkan, dinding yang membatasi dua ras sangatlah besar.
"Yah aku setuju. Bagaimanapun juga, desa saat ini sangat lemah. Kami juga punya beberapa larva yang baru lahir beberapa hari lalu. Dengan Lili-sama yang berpatroli, kami jadi bisa fokus berburu."
Jika kau hanya mendengarkan kata-katanya, goblin ini akan terkesan lembut.
Selama kau tidak melihat wajahnya...
Jadi Lili mencoba menutup matanya dan melipat tangan saat mendengarkan goblin itu bicara.
"Baik. Aku jadi tau ada banyak kesulitan disisi mu, terimakasih atas kerja kerasmu."
"Oh, tidak, tidak sama sekali, dibanding Lili-sama yang menghubungkan manusia dan goblin, usaha yang ku lakukan tidak ada apa-apanya."
Gizo tersenyum, percaya bahwa senyum itu adalah senyum lembut pada Lili.
"Baiklah, lalu aku akan meneruskan patroli."
Ketika Lili mau pergi, Gizo memanggilnya.
"Ah... Jika kau tidak keberatan, aku ingin meminta sesuatu."
Ketika Lili menoleh, yang ia bisa lihat adalah senyum yang menakutkan.
"Jika ada sesuatu yang bisa kulakukan, katakan saja." jawab Lili.
"Ini mengenai Master Giga Rax," kata Gizo lemah.
"Kemarin-kemarin, dia mengayunkan tombaknya dipojok desa siang dan malam... Melihatnya seperti itu..."
"Hmm.."
Lili melipat tangannya seolah-olah setuju tindakan Giga aneh.
Lalu Gizo mulai menjelaskan dengan ekspresi bingung diwajahnya.
Lili punya pemahaman bagus mengenai dasar dunia goblin yang mana menjunjung hirarki sosial.
Apa yang peringkat tinggi lakukan tidak salah. Dan peringkat rendahlah orang yang perlu disalahkan.
Tingkatan kebebasan juga kadang kala muncul di masyarakat manusia, tapi ada perbedaan besar antara cara pikir goblin dan manusia.
Gizo kelihatan ingin mengatakan bahwa yang dilakukan Giga adalah salah.
"Tolong tenangkan Giga Rax," kata Gizo.
"Aku mengerti. Lagipula, aku juga punya tanggung jawab besar mengenai itu daripada kau," jawab Lili.
"Jadi kau akan melakukannya!?"
Dari tertekan menjadi senang, perubahan Gizo membuat Lili tersenyum kecut
Dia mudah sekali dimengerti. Aku kira itu karena mereka tidak pernah belajar untuk menyembunyikan emosi seperti yang manusia lakukan.
Jujur saja, dunia ini seperti daratan tempat para orang biadab. Tapi semakin kesini, Lili mulai berpikir tempat seperti ini dimana banyak orang takberguna tidaklah terlalu buruk.
"Tolong jaga Master Giga Rax."
Sementara Gizo membungkuk, Lili pergi ke tempat Giga berada.
Selama perjalanan, ia bertemu dengan Gida yang sedang memegangi kepalanya dengan tombak berada dibahunya.
Dia terlihat tertekan, jadi Lili memanggilnya.
"Gida-sama?" Katanya.
"...ah, manusia... Li-sama?"
Si-goblin rare kecil, Gida, mendongak untuk melihat apakah itu Lili atau bukan.
"Kau terlihat mengkhawatirkan sesuatu. Apa ada yang bisa ku bantu?"
Tidak seperti Goblin lain, yang satu ini sangat berbeda dari manusia.
Wajah kerutan, kepala plontos... Goblin ini tidak menyamai Gizo selain kulit merah mereka. Sangat misterius bagaimana mereka bisa datang dari ras yang sama.
"Apa yang harus... Aku... Lakukan?" Kata Gida.
Dia begitu tertekan hingga berjongkok seperti itu. Melihatnya khawatir, Lili meletakan tangannya ke bahu goblin itu.
Itu adalah sesuatu yang tidak ia duga, namun ia berjongkok untuk menatap mata goblin rare itu.
"Ahh..." Kata Gida. "Memang benar.... Li-sama adalah manusia baik."
Sesudah menghembuskan nafas, dia mengucapkan apa yang ada didalam hatinya.
Dia melanjutkan.
"Ini... Tentang... Master Ga," katanya.
"Jika tentang itu, maka Gizo-sama sudah memintaku," jawab Lili.
"Sungguh!?" Seru Gida.
Gida tiba-tiba membuka matanya saat berseru sampai-sampai membuat panik Lili untuk sejenak.
"Benar. Dia memberitahuku untuk menghentikan Giga berlatih."
"Itu salah.... Apa... Yang... Master Ga... Ingin... Adalah benar. Apa kau tidak bisa membantunya... Menumbuhkan kaki?" Tanya Gida.
"Menumbuhkan kaki?" Tanya Lili terkejut, tidak yakin pada telinganya.
Gida mengangguk.
"Tombak... Tidak bagus tanpa kaki..." Kata Gida.
Kekuatan datang dari kedua kaki yang berpijak ditanah. Itu juga sama dengan pedang.
Banyak pemula yang berusaha mengayunkan pedang bermodal tangan mereka saja, tapi itu salah. Hal terpenting dalam ilmu berpedang adalah mata. Selanjutnya kuda-kuda.
Lili mungkin tidak sepenuhnya menguasai ilmu berpedang, tapi ia mengerti betul betapa pentingnya kaki itu.
Melangkah... Melompat... Melangkah. Kekuatan datang dari ujung kaki, kemudian menuju tangan.
Lili mengetahui itu dari pengalaman, jadi ia mengangguk terhadap kata-kata goblin itu.
Meski manusia dan goblin adalah ras yang berbeda, teknik yang mereka gunakan dalam menggenggam senjata adalah sama.
"Aku tau itu, tapi..." Kata Lili.
"Maka... Reshia-sama..."
Lili hanya menggelengkan kepalanya terhadap mata berbinar Goblin saat meneruskan.
"Sayangnya, itu mustahil bahkan bagi Nona Reshia," kata Lili.
"Aku mengerti. Terima kasih, Li-sama."
Sesudah menghembuskan nafas, dia berjalan lagi, masih merasa tertekan.
"Terima kasih, yah? Sialan... Hanya saja seberapa sederhananya aku?"
Meski itu bukan seperti dirinya, ia merasakan sakit dihatinya ketika goblin itu berterima kasih padanya, jadi ia memukul tanah untuk meredakan amarahnya.
Apa aku harus menghentikan dia? Atau aku harus mendukungnya?
Tidak, dia yang memutuskan sendiri. Jika Giga ingin mendapatkan rasa hormat para goblin, maka dia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Sambil memikirkan baik-baik hal itu, ia menuju tempat Giga berada.
Aku ingin bicara dengan nona Reshia.
Ia menggeleng terhadap pemikiran itu.
"Berusahalah sendiri!" Serunya pada diri sendiri.
"Apa kau akan bergantung pada nona Reshia untuk selamanya?"
Ia menggenggam erat pedang disamping pinggangnya, dan menutup matanya untuk menenangkan diri.
"Tenanglah, tenanglah... Lili."
Menyentuh kain yang membungkus pegangan pedangnya membuat Lili tenang.
Ia tidak pernah tau kalau mengambil satu langkah akan semenakutkan ini.
Tapi meski begitu, ia tetap melangkah maju.
Jika ia lari, ia tidak akan sanggup menghadap nona Reshia. Ia juga akan mengkhianati kepercayaan para goblin.
◇◇◆
Bagaimana aku menggambarkan pemandangan ini?
Jatuh bangun disemua tempat... Tidak ada kata lain selain 'kikuk' untuk menggambarkannya. Tapi dia menahan rasa sakitnya. Tidak peduli berapa kali dia gagal, dia berdiri kembali. Dia memiliki semangat juang yang membara, dia tidak akan bergeming menghadapi rasa sakit seperti itu. Itulah kebenaran yang dilihat Lili.
Dia mengayunkan tombaknya begitu cepat. Itu pasti mampu membunuh musuhnya berkali-kali. Namun karena dia tidak memiliki kaki, setiap kali dia menyerang, dia jatuh.
Tapi dia tidak menyerah. Dia menancapkan tombaknya, berdiri, menarik tombak, dan mengayunkannya berkali-kali hingga terjatuh lagi. Seolah-olah dia tidak tau kalau dia kehilangan kakinya.
Keseimbangannya juga buruk, membuat tubuhnya semakin buruk.
Terengah-engah, tubuhnya berlumurkan kotoran dan banyak luka.
Namun, dia tidak gemetar sedikitpun. Melihat itu, Lili si-petualang merasakan perasaan kuat yang mengombang-ambing dalam hatinya.
Awalnya kekaguman. Tapi perlahan... Itu berubah menjadi kebingungan. Ketika ia menyadari perasaan didalam dirinya, ia dengan tenang berjalan kearah Giga.
"...apa...yang kau rencanakan?" Tanya Giga, mengatur nafas, sambil menatap Lili.
Dihadapannya terdapat Lili yang sedang mengacungkan pedangnya.
"Aku bersumpah atas nama pedang, dan bertanya padamu."
Kata-kata yang mewakili ksatria. Ketika seorang ksatria bersumpah pada pedang, itu berarti segala kebohongan yang terucap akan menemui tebasan pedangnya.
Pedang mengkilap yang berkilau seperti cahaya matahari itu diacungkan Lili.
"Kenapa kau sampai sejauh itu? Apa itu untuk Raja? Atau kau sangat ingin membunuh musuh mu!?"
Giga mengangkat tubuhnya dengan satu tangan, dan duduk.
Menatap Lili, dia berkata,
"Itu karena sebuah janji. Raja menjanjikan ku! Untuk bertarung bersamanya lagi!"
Lili mengeratkan giginya.
Aku ingin menendang raja goblin itu sekarang.
"...Apa kau menginginkan sebuah kaki?"
"Itu pasti yang terbaik. Meski tanpa itu, aku akan bertarung!"
Dia sangat serius. Tindakannya sampai saat ini membuktikan itu.
Ia berpikir ia akan kalah. Kekuatan ditangannya yang menggenggam pedang perlahan melemah, hingga ujung pedangnya menyentuh tanah.
"Aku bisa saja menendang tombak mu sekarang loh."
"Tindakan yang biadab sekali."
"Giga, aku menantangmu berduel."
"...aku terima."
"Tiga hari lagi."
"Baiklah!"
Seolah-olah ingin lari dari tempat itu, Lili berjalan ke tempat Reshia.
Author Note:
Aku bakal menuliskan tiga chapter mengenai desa.
Aku ingin menggambarkan raut wajah goblin yang tidak bisa berdiri~
Comments
Post a Comment