Skip to main content

Goblin Kingdom - Chapter 28: Mana yang harus di lindungi

 Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan dibawah ini



 --------------

Chapter 28: Mana yang harud dilindungi

[Race] Goblin
[Level] 60
[Class] Duke; Ketua Kelompok
[Possessed Skills] <<Horde Commander>> <<Insurgent Will>> <<Overpowering Howl>> <<Swordsmanship B->> <<Insatiable Desire>> <<King’s Soul>> <<Ruler’s Wisdom I>> <<Eyes of the Blue Snake>> <<Dance at Death’s Border>> <<Red Snake’s Eye>> <<Magic Manipulation>> <<Soul of a Crazed Warrior>> <<Third Impact (The Third Chant)>>
[Perlindungan Ilahi] Dewi Underworld (Altesia)
[Atribut] Kegelapan; Kematian
[Bawahan Beasts] Kobold (Lv9)
[Abnormal Status] <<Charm of the Saint>>

Hal pertama yang ku lihat saat membuka mataku adalah Reshia dan para bawahanku. Reshia tampak seperti akan menangis kapanpun, dan bawahan goblinku tampak sangat khawatir.

Melihat kesekitar, aku sadar kami masih didepan gua. Taring yang menancap selama bertarung juga sudah lagi tidak ada di ahuku.

Luka-luka ku juga telah menutup pada tingkat yang menakutkan... Apa-apaan kekuatan penyembuh absurd itu, pikirku.

Aku menunggu luka-luka ku selesai menutup sebelum aku berdiri, tapi aku masih berjalan terhuyung-huyung.

Anemia, ku kira...

Tersenyum kecut, aku menggelengkan kepalaku, menegaskan aku tidak apa-apa pada bawahanku.

Kemudian aku menanyai Giga, "Giga, sudah berapa lama waktu berlalu?" Yang mana dia menjawab, "aku menyuruh Gigi berlari secepat yang dia bisa, jadi tidak terlalu banyak..."

Pada jawabannya, aku menatap keatas. Matahari diatas kami belum terbit. Suara keluhan reshia mencapai telingaku, mengatakan,

“Gigi-san memaksakan beast-nya hanya untuk membawaku kau tau? Jadi kau harusnya berterimakasih pada Gigi-san. Dan juga kau harus berterimakasih pada Giga-san, karena jika bukan keputusan tanggapnya, aku mungkin akan terlambat menyelamatkan mu!"

“Oh, maaf. Maaf karna membuatmu khawatir," jawab singkat ku.

Lalu aku meletakan tanganku diatas kepalanya, menghentikan ceramah panjang-lebarnya.

"K-kenapa aku menghawatirkan mu," lawan nya..

Mengabaikan reshia, aku berbalik dan berterimakasih pada Gigi atas pekerjaan yang dilakukannya.

"Gigi, kerja bagus. Pergi dan beri makan beast milikmu," kata ku.

Kemudian Gigi membungkuk, dan aku berterimakasih pada Giga selanjutnya.

"Kau juga, Giga. Kau telah menyelamatkan hidupku,"

"Tidak usah dipikirkan," jawab Giga.

Setelah berterimakasih kepadanya dengan anggukan, aku memanggil Gigo yang saat ini melihat gua.

"Apa ada yang sudah memasuki gua?" Tanya ku.

"...tidak seorangpun," jawab nya, ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya seolah-olah menguatkan dirinya untuk menegur.

Menggelengkan kepalaku pada kesalahpahaman itu, aku berkata.

"Bukan itu. Sebaliknya kau melakukan pekerjaan yang bagus."

Lebih baik menahan orang-orang memasuki gua sehingga mencegah pengorbanan sia-sia bagaimanapun juga. Tapi meski keputusan itu mungkin tepat, bagi Giga yang seharusnya merasa bersemangat masuk kedalam mengingat sejarahnya dengan para serigala, mungkin tidak akan mudah membuat keputusan tsb. Namun demikian, dia berhasil membuat pilihan tepat. Itu sesuatu yang layak dipuji.

Melaporkan kerusakan yang terjadi dari pertarungan, Giza berbicara.

"Beberapa mati dipertarungan ini. Grup tiga-orang yang kau ajarkan... Cukup bagus."

Kurang lebihnya terimakasih pada keberuntungan, kurasa.

“Yah lalu…”

Pertama, mengganti darah yang ku hilangkan dulu. Setelah itu menuju gua.

Meraih perut gray wolf yang terbelah, aku memenuhi mulutku, menguyahnya dibawah gigi-gigi tajam ku, lalu menelannya. Kemudian aku berkata,

“Hmm… sebanyak ini seharusnya cukup."

Saat orang-orang disekitar melihat ku, aku memerintahkan mereka memasuki gua.

“Giza, pilih tiga ahli diantara para druid," perintah ku.

"Maksudmu dua selain aku, benar?" Jawabnya, menunjukan senyum penuh percaya dirinya.

Melanjutkannya, aku memberi perintah pada orang-orang yang tersisa.

"Giga, Gigi, persiapkan diri kalian. Kita akan memasuki gua. Gigi, kau disini berjaga. Jika ada sesuatu yang terjadi, segera hubungi kami."

Saat para goblin membungkuk secara bersamaan kearah ku, aku mengambil gigitan lain dari daging serigala.

Aku harus menebus darah yang hilang.

Sayangnya, aku tidak bisa memikirkan cara lain selain ini. Yah, masih lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa.

Tiba-tiba saja, Reshia keberatan, berkata,

"Kau tidak berpikir akan bertarung lagi kan?"

Aku hanya bisa tersenyum kecut pada mata keberatan miliknya sambik aku membalas ucapannya,

"Jika aku tidak menghabisi Gray Wolf disini, lebih banyak bawahanku akan mati. Selain itu, aku bukan orang yang membiarkan kesempatan lewat begitu saja."

" 'Takdir tidak kenal ampun pada mereka yang gagal mengambil kesempatan yang telah diberikan'... Itu dongeng suci kuno; aku terkejut kau tau itu."

"Tidak. Aku hanya menggunakan kepalaku. Kau tau... Begitulah Cara bertahan hidup."

"Apa aku baru saja mendengar kau memanggil ku bodoh?"

"Oh? Kau sadar yah? Itu hebat. Itu berarti masih ada harapan pada dirimu."

Matanya berkobar-kobar, Reshia menghentakan kakinya, dan kemudian berseru,

“…aku akan ikut juga!"

"Aku tidak bisa menjamin keselamatan mu," peringat ku.

"Aku yakin pada diriku sendiri!" Hentak Reshia lagi.

"Seperti yang kau inginkan," jawab ku, tersenyum kecut pada sifat keras kepalanya.

Mengabaikan gadis pemarah itu, aku melihat kearah gua.

Sekarang... Aku penasaran apa yang membuat Gray Wolf itu kehilangan kewarasannya, tanyaku dalam hati.

◇◆◇

Kami memasuki gua, dan apa yang menyambut kami adalah lingkungam samar dengan sedikit cahaya.

Kegelapan ditingkat ini tidak masalah bagi kami para goblin, tapi bagi Reshia, ngga usah dipikir. Jadi untuk mengimbangi ketidak mampuan matanya, ia menggunakan sihir cahaya untuk menyinari jalan kakinya.

Gua itu sendiri tidak luas. Dan setelah sebentar berjalan, alasan kenapa gray wolf menggila akhirnya terungkap.

"Jadi itu sebabnya," gumamku.

Gray wolf yang tersisa dalam genangan darah muncul didepan kami. Matanya terbuka lebar, tapi didalam mata itu tidak ada apa apa selain hampa. Tidak ada apapun tercermin didalamnya.

Stress karna kematian partnernya yak? Pikirku dalam hati.

Aku mendekati mayat itu, aku penasaran apa yang menyebabkan dirinya berdarah sampai mati begini. Kemudian sesuatu tertangkap oleh mataku.

Luka yang terus berdarah terletak tepat di bawah perutnya.

“!?”

Ketika aku melihat itu, mata suram gray wolf yang berisi kemarahan didalamnya melintas lagi dibenak ku. Aku pikir itu adalah kemarahan... Tapi bukan itu ya kan? Itu adalah keteguhan hati.

–––Benar… dia tidak akan menyerah. Tidak dengan cara ini.

Kegilaan yang aku lihat ketika mata kami bertemu saat dia menusukkan taringnya kedalam bahuku. Aku akhirnya mengerti alasan dibalik matanya.

"Reshia, sini," kata ku.

Alasan kenapa dia tidak membiarkan ku pergi tidak peduli apa itu... Ada didepan mataku.

Dan aku meraih alasan itu dengan tangan ku, menganggkat nya dalam pelukan.

Dua ekor anak Gray Wolf.

Aku tidak tau apa mereka sudah mati, atau apa mereka tengah tertidur. Tapi aku masih bisa merasakan kehangatan dari mereka, jadi seharusnya ini masih belum terlambat.

Memeluk dua anak gray wolf yang menggulung menjadi bola dengan mata mereka yang tertutup, aku menyuruh Reshia,

"Sembuhkan mereka," ucap pendek ku.

"K-kau seenaknya mengatakan apapun yang kau inginkan, benar!?" Keluh nya.

Suara reshia agak keras, tapi ia masih merentangkan tangannya segera.

Dalam sekejap, semua keraguan dan kebingungan meninggalkan wajahnya, dan ekspresi saint suci nya muncul ditempat itu. Membuktikan ketetapan hatinya.

"Biarkan pertolongan diberikan kepada semuanya (Heal),” rapal nya.

Cahaya putih bersinar didalam gua, menyelimuti anak anjing yang baru lahir dengan kehangatan. Dan didetik berikutnya, Reshia, menegaskan, berkata,

"Sudah selesai."

Dan lihatlah, anak anjing disana, tertidur dengan damai. Yang mana aku bergumam,

"Munafik sekali."

Sebuah ejekan tiba-tiba melintas.

Aku membunuh orang tuanya, dan mencuri anaknya. Dan dibawah kepura-puraan menyelamatkannya, aku membohongi diriku snediri, mengatakan tidak akan membunuh anak anjing ini.

Aku tidak berperasaan, itu benar. Tapi pada saat yang sama... Aku sudah terlalu banyak bersimbah darah untuk sesuatu seperti kelembutan.

Kemudian tanpa keraguan sedikit pun, Reshia berkata,

"... Ada lebih dari satu hal sisi untuk dipikirkan, kau tau?"

Dan aku menatapnya dengan mata terkejut.

Itu karena ia mau mendengar ku, dan karena aku tidak tau apa yang ia bicarakan.

"Fakta kau merasa menderita itu berarti kau punya hati nurani, kan? Lalu dalam hal ini, kau tinggal mengikutinya saja," kata nya.

Mata amethyst itu melihatku tanpa kekakuan seperti dewi-dewi itu. Tapi mata itu masih berisikan cahaya yang menusuk sampai mampu menusuk semua pria.

"Jangan mengatakan hal-hal bodoh," jawab ku.

"Aku seorang monster. Aku hanya menyelamatkan peningkat potensi pasukan kami. Jangan salah paham."

Merona karna ketahuan, aku meludahkan kebohongan. Tapi pada saat yang sama, itu mirip dengan sebuah kisah.

"Kita sudah melihat semuanya disinu. Kita akan pulang," kata ku.

Memimpin bawahan goblin ku, aku keluar gua.

"...seekor monster asli tidak akan memanggil dirinya sendiri seekor monster," gumam Reshia.

Tapi aku berpura-pura tidak mendengar kata-katanya dan terus berjalan.

Author’s Note: Gray wolf didapatkan!

Comments