------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Chapter 52: Sang Tiga Ksatria Suci
[Ras] Goblin
[Level] 8
[Kelas] Lord; Ketua Kelompok
[Skill] <<Horde Commander>> <<Insurgent Will>> <<Overpowering Howl>> <<Swordsmanship B->> <<Insatiable Desire>> <<King’s Soul>> <<Ruler’s Wisdom I>> <<Eyes of the Blue Snake>> <<Dance at Death’s Border>> <<Red Snake’s Eye>> <<Magic Manipulation>> <<Soul of a Crazed Warrior>> <<Third Impact (The Third Chant)>>
[Perlindungan Ilahi] Dewi Underworld (Altesia) [Atribut] Kegelapan; Kematian
[Bawahan Beasts]
High Kobold <<Hasu>> (Lv1)
Gastra (Lv20)
Cynthia (Lv20)
Raja Orc<<Bui>> (Lv36)
Memimpin jalan melalui hutan lika-liku adalah Gilmi.
"Kami para suku dipanggil sebagai Sang Goblin Permulaan," kata pelan Narsa yang berada disampingku.
Kelembutan suaranya seperti berasal dari seorang Miko tua.
"Dikatakan bahwa kita para goblin terlahir di Dunia Kematian, hingga kemudian kita tiba di dunia ini."
Apa ini ada hubungannya dengan Dewi Altesia?
"Kematian Deetna, ibu dewi kami, fondasi kami."
Ini mengingatkan ku akan legenda yang Reshia bicarakan. Di Legenda itu, para dewa berdoa agar Deetna kembali dari Dunia Kematian. Dan ia kembali, hanya saja... Ia datang bersama para monster dan beast sihir.
Ternyata legenda yang Reshia ceritakan juga diturunkan para monster.
Apa ini kebetulan?
"Tapi dewa kami, Deetna, dikalahkan, dan yang datang menguasai Dunia Kematian adalah Altesia. Melalui kemurkaan yang menelan jiwa dan kekuatan mengerikannya, ia menaklukan dunia kami. Kemudian ia menantang dunia manusia sekali lagi."
Dan begitulah makhluk hidup dan makhluk mati bertempur lagi, yah?
"Tapi kami kalah lagi. Ketika ia kabur ke dunianya, ia meninggalkan kami. Tapi ia memberi satu perintah sebelum ia pergi... Yaitu lindungi Benteng Abyss. Lakukan itu dan raja kalian akan terlahir."
Hanya saja, seberapa banyak semangat yang ada didalam kata-kata mu hingga kau gemetar? apa yang ada didalam benakmu... Narsa?
"Dan ketika hari itu tiba, kita akan bangkit, dan melawan manusia sekali lagi."
Itu sedikit berbeda dengan yang Gilmi ceritakan.
"Dan?" Tanyaku.
Prolog ini terlalu panjang. Aku hanya ingin mendengar intinya.
"Ke Empat Suku Besar bersama-sama melindungi itu. Sehingga demi menjaga Benteng Abyss, masing-masing dari kami menerima harta dari penjaga gerbang Dunia Kematian."
Aku mendengar sahutan dari sisi kanan, tapi aku menyerahkan itu pada Gigu Verbana.
"Harta itulah... Yang mereka cari," kata Narsa.
Teriakan bergema dari sisi kanan, tapi pepohonon menghalangi pandanganku... Aku tak punya pilihan lain selain percaya pada mereka.
"Tapi kenapa baru sekarang?" Tanyaku. "Bukankah perang itu terjadi 400 tahun lalu?"
"...itu karena mereka tak bisa menunggu lagi. Jadi mereka berpikir untuk memperoleh Raja dengan tangan mereka sendiri."
Kebencian terlihat menyelimuti Narsa.
Disaat itu, meski mereka juga tidak mungkin mau terus menunggu kata-kata itu menjadi kenyataan, goblin Gaidga muncul.
"Mendapatkan Raja, yah?"
Seperti boneka tanpa kehendak...
Raja adalah aku.
Seseorang yang sekedar diberi posisi itu oleh orang lain bukanlah seorang Raja.
"Giza, aku serahkan padamu," perintahku.
"Tidak masalah,"
Tersenyum percaya diri, Giza mengacungkan pedangnya kearah musuh. Mengikuti dia, ada beberapa goblin druid.
"Pemimpin Gaidga adalah Rashka, anak dari Mishka. Dia adalah tunanganku."
Baiklah. Aku mungkin bisa memanfaatkan itu.
Narsa hanya bisa menggantungkan kepalanya tanpa bertanya-tanya apa yang sedang kupikirkan.
"Bawa keluar mereka segera, dan ambil alih Desa Ganra!" Perintahku.
Terlepas dari itu... Entah Ke empat harta itu atau Raja yang kalian inginkan... Aku akan merampas segalanya.
Aku memandang para Goblin bawahanku.
"Gilmi, susuri area sekitar."
"Ya."
Diatas pohon itu adalah rumah para goblin Ganra.
Narsa terlihat sedang menahan sesuatu saat ia mengeratkan tinjunya sambil menyaksikan situasi didepannya.
Seperti manusia.... Huh?
Aku menyipit melihat tingkahnya. Perasaanku saja atau bukan, berhadapan dengan manusia lebih baik daripada berhadapan dengan goblin.
Kemudian aku memandang medan pertempuran. Dari sini aku bisa mendengar sorakan dari beberapa tempat.
"Untuk sementara, kelihatannya kita sudah mencapai tujuan kita," gumamku.
Gilmi yang sudah menyusuri sekitar diatas turun kebawah untuk melapor.
"Kelihatannya goblin Gaidga sudah mundur," katanya.
Aku memberikan anggukan pada penjelasannya.
"Cari makanan, dan tetap mewaspadai sekitar... Ini seharusnya sudah tidak apa, kan?"
Kataku dengan tatapan tajam.
Narsa, terlihat tidak bisa menahan tatapanku, dan secara spontan mengangguk.
◆◇◆
Jika tempat itu harus digambarkan dengan kata-kata, maka kata 'Sangat Megah' pastilah yang terbaik.
Diatas marmer mengkilap terbaring karpet merah yang membentang kedalam tempat singgasana Raja.
Dinding-dinding disekitarnya berwarnakan permadani yang ditenun oleh para penjahit ahli selama bertahun-tahun. Di tempat lilin berhias permata, cahaya menyinari ruangan itu bersama batu-batu sihir yang tertempel dilangit-langit.
Melalui kaca jendelanya, bisa terlihat Gereja Barat, sekaligus menjadi media bagi cahaya untuk masuk, itu menyinari seorang lelaki diruangan itu, menciptakan suasana keagungan.
Itu adalah ruangan singgasana, yang mana tempat Raja menemui tamunya.
Duduk di singgasana, ada orang tua yang dikenal sampai negeri tetangga sebagai seorang Raja agung.
Ashtal Do Gelmion. Dia adalah Pemimpin Kerajaan yang terletak disisi barat negara. Itu adalah negara yang berbatasan dengan Hutan Kegelapan sampai sisi selatan.
Disisi lain karpet itu berdiri batu-batu permata negara ini, para bangsawan, birokrat, prajurit, serta pedagang besar.
Mereka berdiri bagai dinding keras, tidak membiarkan apapun menggoyahkan mereka. Di ruangan itu, hanya satu hal yang mutlak, dan itu tak lain dan tak bukan adalah Kemartabatan Sang Raja.
"Ksatria suci telah tiba."
Tiba-tiba, disituasi tegang itu, layaknya suara yang memekakan, kata-kata itu bergema.
Sang Raja memandang pintu didepannya saat terbuka. Dari situ masuklah ketiga lelaki berbalut armor.
Salah satunya adalah lelaki paruh baya. Dengan wajah mempesona, berperawakan tegak lurus, dan rambut silver keputihan, dia memberikan kesan seorang butler. Namun, kilatan tajam yang ada dimatanya menghapus kesan itu. Ketika dia mengusap kumisnya, penampilannya mempesona sekeliling.
Disisi lain ada seorang lelaki muda. Tatapan arogannya bergerak kesana kemari. Tubuh berototnya seperti batu yang berbalut armor. Rahangnya terlihat seolah-olah mampu menghancurkan besi, dan didalam mata birunya bisa dilihat ambisi membara. Potongan rambut pendeknya nampak menghadap langit, berdiri menantangnya.
Orang yang terakhir adalah lelaki berambut panjang berbalut armor merah. Keindahan rambut emas berkilaunya mampu membuat orang lain salah mengerti dia adalah perempuan. Tubuh ramping, kulit seputih porselein, yang seolah-olah tekpernah tersentuh sinar matahari. Meski dia terlihat seperti perempuan, senyum sarkas terpampang saat ia memandang rendah orang-orang disekitarnya.
"Gowen Ranid, Gulland Rifenin, dan Gene Marlon tiba untuk menjawab pangilan Raja."
Sementara si-lelaki paruh baya berlutut dihadapan raja, keduanya mengikuti.
Raja mengangkat tangannya yang seperti pohon kering, dan mengisyaratkan mereka untuk santai.
"Apa keperluan Raja meminta kami?"
Ketiga dari tujuh Ksatria Suci itu adalah aset militer terhebat kerajaan. Bagi ketiga orang itu dipanggil oleh Raja.... Mereka tau betul seberapa besar masalah yang sedang dihadapi.
Dari selatan hingga barat daya adalah Hutan Kegelapan. Di Utara ada pegunungan Dewa Salju (Yggrasil). Di Timur ada Kerajaan Shushunu. Dan di sebelah tenggara ada sekutu raja.
Negara ini dikelilingi mereka semua, menjadikan pertahanannya semakin kuat. Dan orang-orang yang turut serta memperkuatnya adalah Ke tujuh Ksatria suci.
"Sebuah permintaan datang dari Gereja Barat," kata Raja.
Ketika mendengar itu, Gowen, yang berlutut, segera mengerti detil tugas mereka.
"Temukan sang Saint," kata Raja dengan suara rendah.
Ketiga Saint itu menerima permintaan raja melalui ekspresi wajah mereka.
"Bawa ia hidup-hidup," perintah Raja.
"Seperti yang engkau hendaki!" Jawab ketiga Ksatria suci.
Puas, Raja melepaskan mereka.
"Reshia Fel Zeal, pengikut Zenobia, kan? ...hanya saja apa yang dipikirkan orang-orang gereja, aku penasaran?"(Asthal)
Ini rahasia, tapi Menara Ivory sebenarnya menekan kerajaan ini.
Menara Ivory mempunyai banyak penyihir dan birokrat luarbiasa. Jadi meski kerajaan ini punya banyak orang-orang hebat dibawah kekuasaannya, itu tidak memberi dampak pada Kekuatan Menara Ivory.
Namun, Menara Ivory dan Gereja Barat itu meminta sendiri untuk mencari seorang gadis.
Sebuah kebetulan, namun pada saat yang sama, juga mengkhawatirkan.
Jika ia hidup, temukan ia, dan bawa kembali. Sementara nyala api mulai membara dimata Ashtal, dia tersenyum.
◆◇◇
"Aku penasaran, sebenarnya apa yang raja kita rencanakan," tanya Gene, berjalan sambil bermain dengan rambut panjangnya.
Sesudah dibebaskan dari Raja, dia tak lagi berusaha menyembunyikan senyum sarkasnya.
"Kau tidak benar-benar peduli, kan? Bagaimana dengan mencari mangsa di hutan? Sudah lama aku tidak berburu untuk bersenang-senang," tawa keras lelaki yang dikenal sebagai Gulland.
Sebagai Ksatria dengan perawakan tinggi yang juga dikenal sbg sang Ksatria Badai, tidak ada orang yang lebih hebat kalau itu mengenai pertarungan great sword.
"Menurutmu bagaimana, kakek?" Tanya Gene dengan senyum pada ksatria tertua yang berjalan didepannya.
Gowen, tertua diantara Ksatria suci, dan orang yang punya pencapaian terbanyak diantara mereka.
"...Menara Ivory dan gereja pasti menekan dia untuk ini," kata Gowen sambil menengok belakang.
Tatapan yang dia kirim pada mereka... Dia tidak memandang mereka dengan mata biasa, tidak. Lebih seperti dia melihat mereka dengan tatapan yang benar-benar dingin. Itu adalah tatapan dingin yang terlihat memandang rendah pada sesuatu yang tak berharga. Senyum Gene berkedut.
"Seperti yang diharapkan dari Ksatria Strong-Armed, kau sungguh luarbiasa. Faktanya, tatapan mu saja sudah tak terasa seperti manusia," kata Gene menatap Gowen dengan mata gemetar.
Lebih dekat lagi, kau bisa melihat tangan kiri Gowen sebenarnya adalah tangan baja.
Saat Gowen berhenti berjalan, Gene juga berhenti, dan dia mengambil beberapa jarak.
"Kau mau mencobanya, kakek? Fifire ku cepat, kau tau?" Kata Gene, pelan menempatkan tangannya diatas pedang tipisnya dipinggang.
Gerakannya sangat cepat, tidak ada celah diantara kuda-kudanya. Dia sudah sangat siap. Siap untuk mangsa apapun yang datang menyerangnya.
"Kita harus berhenti. Tidak ada menariknya bertarung diantara kita meski itu menghibur Gulland," kata datar Gowen sambil menatap si-lelaki tinggi.
"Apa, kau tidak mau? Padahal aku kira aku bisa memburu orang yang terluka," tawa Gulland dengan nada rendah sementara Gene tersenyum kecut.
Ketika dia mendengar kata-kata itu, Gowen mulai berjalan kembali. Gene dan Gullan saling menatap sekali lagi, dan mereka mulai berjalan.
Bertarung disini hanya akan memberi mereka kerugian.
Jika mereka mau bertarung, maka mereka mungkin akan bertarung dari awal, dan menang. Mereka berdua juga sadar bahwa ini adalah tindakan terbaik.
"Sang Putri Tawanan, Reshia Fel Zeal, kan? Untuk sementara, kenapa kita tidak pergi dan menyelamatkan ia?"
Ketika Gene pelan mengatakan itu, keduanya mengangguk.
Author’s Note:
Aku sedikit merubah perspektif sedikit, dan beralih cerita ke kerajaan manusia.
Tokoh musuh pasti bagus, yah?
Comments
Post a Comment