------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Selingan: Ia yang memilih pedang
Nama | Lili Aureya |
Kelas | Manusia |
Level | 56 |
Job | Petualang |
Skill | Swordsmanship C+; The Mind’s Eye; Three Stage Slash; Innate Talent; Oath of the Knight; Counter; Echo Steph |
Perlindungan Ilahi | Dewa api |
Atribut | Api |
Abnormal status | Karena luka kekalahan–kau menderita kutukan Altesia. Skill Innate dan The Mind’s Eye terkunci. Semangat juang berkurang 40% |
“Aku mohon!”
Dengan kepala menggantunng, Lili bersujud didepan Reshia.
"Nona Lili!?"
Bagi seseorang seperti Lili yang bekerja sebagai petualang, yang mana sering menghadapi bahaya yang tak sesuai bagi seorang wanita, harga dirinya sangatlah tinggi.
Reshia tau itu, hingga ia sendiri hanya bisa membelalak ketika melihat kelakuan Lili.
"Ada apa sebenarnya? Jika begitu, beritahu aku dulu apa itu."
Lili akhirnya mengangkat kepalanya, dan bicara.
"Semasa kecil ku, aku bercita-cita ingin menjadi ksatria. Karena itu aku membaca banyak cerita mengenai ksatria. Aku cuma baru teringat salah satu dongeng itu."
Lili tampak putus asa saat ia menggaruk tanah kotor itu. Reshia dengan tenang mendengarkan.
"Dongeng sang Ksatria lengan besi, Ritzergelt."
Dia kehilangan tangannya dipertempuran, jadi dia menggunakan tangan baja untuk menggantikan tangannya yang hilang, dan mengembara ke penjuru negri. Dia memperoleh banyak pencapaian sepanjang perjalanannya, dan pada akhirnya, dia menjadi komandan para ksatria.
"Menara Ivory tau bagaimana membuat alat bantu, kan? Tolong ajari aku!”
Menara Ivory adalah harta karunnya pengetahuan. Dan kelihatannya ada cukup banyak bangsawan kelas tinggi dan pejuang yang bisa terus bertarung dengan menggunakan alat bantu itu.
Reshia tidak yakin apa itu benar meski ia pernah mendengarnya, tapi ia tidak pernah melihatnya satupun.
Tentu saja, daripada Lili, pengalamannya sebagai petualang sangat dangkal. Dan sebelum dia bisa menemukan waktu luang untuk mendapat pengetahuan dunia ini, ia sudah menjadi tawanan.
Tapi ia jelas pernah mendengar rumor mengenai orang-orang itu.
Selain itu, meski kemungkinan semacam itu bisa saja ada dikarenakan pengetahuan Menara Ivory yang luas. Pengetahuan Menara Ivory sesungguhnya bernilai ribuan batang emas.
Semua orang tau itu bahkan diantara petualang.
"Apa yang akan kau lakukan setelah mempelajarinya?"
"Aku akan membuat mereka, dan memberinya pada Giga."
"Apa itu hal benar yang dilakukan untuk seorang petualang? Atau itu... Keputusan mu sebagai Lili?"
Petualang adalah mereka yang berdiri melawan monster-monster. Membawa kekuatan menakjubkan, mereka membasmi segerombol monster didunia. Mereka adalah barisan depan untuk tujuan itu.
Saat Reshia bertanya pada Lili, aura yang ia berikan bukan lagi gambaran seorang gadis muda, melainkan seorang saint.
"Aku tak tau," kata Lili. "Tapi aku sudah bersumpah atas pedangku, dan menantang Giga-sama berduel. Duel itu harus adil."
Lili mengeratkan pegangannya, dan meneruskan,
"Melihat Giga-sama mengayunkan tombak tanpa tangan dan kaki membuatku berpikir aku akan kalah. Aku tidak akan bisa kembali menjadi petualang karna kekalahan itu."
Itulah penghalang ku.
Kalau aku bisa menyapu kekalahan itu, aku tidak akan bisa maju kedepan.
"Aku mohon padamu, Nona Reshia... Aku tidak ingin kalah!"
Ada peredaan besar antara kalah mental dan kalah kemampuan.
Lili sudah menantangnya, menantang Gigi... Dan dirinya sendiri.
"...aku mengerti," angguk Reshia. "Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Menanglah," senyum lembut Reshia.
"Pasti!" Angguk Lili.
◇◆◇
Dia terguling-guling ditanah, dan menatap langit malam.
Dia teringat Lili yang menantangnya kala sore itu. Ia menantang duel, tapi ia mungkin melakukan itu untuk menghiburnya.
Lagipula, meski itu agak aneh, dia tidak sedikitpun merasakan kebencian darinya.
Biasanya, ketika manusia merasa benci, itu akan terlihat dimata mereka, tapi...
Malampun tiba. Meski tidak ada waktu tersisa sampai hari yang dijanjikan, tubuh Giga begitu terasa berat. Dengan satu kaki, dia tidak bisa menggenggam tombaknya tidak peduli seberapa keras dia mencoba.
Kenapa yah...
Itu tombak yang selalu ku gunakan, jadi kenapa itu terasa sulit hanya karna kehilangan satu kaki. Sebelum aku menjadi kelas rare, dan mendapat perhatian raja... Sebelum desa diserang pemimpin orc... Aku selalu bertarung dengan tombak ini.
Sangat aneh. Seolah-olah sesuatu yang selalu ada disisiku tiba-tiba menjadi sangat jauh.
"Apa kau tidak senang hanya karena aku kehilangan tangan dan kaki?"
Pertanyaan itu diarahkan pada tombak yang menancap ditanah, namun tanpa jawaban apapun keluar.
Tentu saja, tombak tidak bisa bicara. Itu hanya mengikuti keinginan Giga dan menunjukan kekuatan semau Giga.
"Aku tidak senang."
Giga melompat pada jawaban mengejutkan itu.
"Apa!?"
"Aku sangat tidak puas."
Dia hanya menatap tombak yang menancap ditanah itu. Siapa yang menyangka tombak bisa bicara?
"Apa tombaknya bicara...?"
"Apa maksudmu?"
Merasa aneh, Giga mendongak. Dia melihat Lili.
Saat dia melihatnya, dia tersenyum kecut. Tapi Lili dengan sengaja mengabaikan itu.
"Seharusnya masih ada waktu sampai duel kita kan?" kata Giga.
"Benar," angguk Lili sambil mengeluarkan batang kayu.
"Apa ini?"
"Kaki barumu."
Giga memiringkan kepalanya seolah-olah bertanya, apa yang kau bicarakan? Sesuatu seperti itu tidak mungkin sebuah kaki. Sebuah kaki harusnya lebih seperti...
Saat Giga memikirkan itu, Lili berlutut, dan memasang batang kayu itu ke kaki Giga yang putus, dan mengikatnya dengan ikat pinggang.
"Ini akan sedikit menyakitkan."
Tatapan kuat Lili menunjukan itu akan sangat menyakitkan, jadi Giga mengeratkan giginya.
“gigu!?”
Dengan sensasi seperti mengeruk daging yang amat menyakitkan, kaki baru Giga terpasang.
"Cobalah berdiri," saran Lili.
Lili membantu Giga berdiri, dan untuk pertama kalinya, dia berdiri dengan kedua kaki.
Saat Giga mengambil beberapa langkah, suara terkejut keluar dari mulutnya.
"Ohh..."
Aku bisa berjalan.
Meski rasanya ini seperti menusuk-nusuk dagingku, tapi kaki buatan ini bisa membantu tubuhku.
"...kenapa? Kenapa kau memberiku ini? Ini mungkin akan jadi ketidakuntungan bagimu di duel nanti?"
Setelah tiga langkah, Giga berhenti, dan dengan susah payah, dia berbalik menghadap Lili.
"Duel seharusnya adil," kata Lili.
Tatapan Lili membuktikan tidak ada alasan lain selain itu.
"...aku berterima kasih," kata Giga.
"Masih terlalu awal mengatakan itu. Biarkan aku mendengarnya setelah duel."
"Aku mengerti."
Sementara Giga membungkuk, Lili berbalik dan berjalan.
Sesudah melihat punggung Lili menghilang kedalam kejauhan, dia memandang langit malam.
"Raja, aku masih bisa bertarung!"
Aku ingin bertemu raja segera.
◆◇◇
Dikedua sisi terdapat semangat dari seorang wanita dan seorang hewan buas. Daerah disekitar begitu sunyi. Hari inilah hari yang dijanjikan.
Giga dan Lili berada dialun-alun desa. Suara dari pedang yang ditarik dari sarungnya terdengar sebelum Lili mengacungkan senjatanya.
Didepannya, Giga berdiri dengan kedua kakinya. Dia membiarkan ujung tombaknya menyentuh tanah dengan sikap membungkuk.
Goblin yang memiliki semangat juang tangguh itu berseru.
"Kesinilah!"
Ksatria yang berjanji membawa kemenanganpun menjawab.
"Aku datang!"
Didalam desa dimana Raja tidak ada, tirai duel diangkat.
◇◇◆
Dia melangkah dengan kaki palsunya.
Ujung tombaknya melesat bagai kepala ular. Dalam sekejap, tombaknya memanjang seolah-olah mau menggingit musuh dihadapannya.
Pisau tombaknya mungkin tumpul, tapi serangan Giga masih cukup kuat membunuh jika terkena langsung, tapi Lili menghindari serangan itu.
Pedangnya meluncur melalui bawah tombak Giga. Disaat yang sama, ia mengaktifkan <<Echo Steps>>, dan menaikan kecepatannya.
Didalam sekolah Zweil, hal pertama yang harus dipelajari sebagai murid baru adalah skill ini.
Skill ini adalah 'dua kaki' didalam prinsip 'satu mata, dua kaki', yang sekolah pedang ajari. Kecepatan hebat yang dibawa <<Echo Steps>> adalah skill spesial yang tidak bisa dilihat sembarang orang.
Mengikuti insting hewannya, Giga segera menarik tombaknya saat merasakan bahaya. Lalu dia melompat mundur, menghindari jalur ayunan itu, dan mengarahkan pegangan tombaknya kearah pedang itu untuk melindungi diri.
Pedang Lili bertubrukan dengan tombaknya, memberi efek kejut ketubuh mereka. Tapi tangan ramping Lili tidak punya cukup kekuatan untuk mematahkan kekuatan Giga.
Giga mengambil jarak, dan memperhatikan seksama kemana Lili akan bergerak.
Dalam adu tombak dan pedang, faktor yang memisahkannya adalah jarak.
Giga mempunyai itu.
"Kaki buatan ini cukup bagus," kata Giga.
Lili menggenggam pedang disamping bahu sambil memperbaiki sikapnya.
"Menyerang dengan satu tangan tidaklah cukup," tawa Giga.
Lili tersenyum merespon.
"Ikuzo!" Teriak nya.
"Kesinilah!" Tantang Giga
Orang yang menyerang adalah Lili. Ia berakselarasi dengan <<Echo Steps>>, dan mengayunkan pedangnya sekuat tenaga.
Giga mengayunkan tombaknya kearah pedang Lili, tapi pedang Lili lebih cepat dari yang diduga, membuat Giga mendecakan lidah.
Jadi kau tidak serius dari tadi!
Tapi itu sudah terlambat.
Ketika Giga mencoba menarik kembali tombaknya, Lili menambah serangan lain, membuktikan pedangnya lebih cepat daripada tombak Giga. Kali ini Giga melompat mundur tidak seperti sebelumnya. Pedang yang datang terbelah menjadi tiga, dan menghujani Giga.
Ketiga tebasan itu melubangi tanah, menyebabkan kepulan debu berkumpul, menyelimuti kedua petarung itu. Ketika debu itu berkurang, Lili bisa terlihat.
"...apa artinya ini?" Tanya Giga.
"Tidak ada. Hanya saja Rajamu bukanlah satu-satunya yang bisa menggunakan skill ini. Manusia juga punya sendiri."
Sesudah ia membersihkan kepulan debu dengan satu ayunan pedangnya, ia sekali lagi menggenggamnya di sebelah bahu.
"Sekarang, kemarilah dan penuhi kekuatan dari gaya berpedang Zweil!"
TL: aku tidak yakin untuk beberapa terjemahan di chapter ini.
Comments
Post a Comment