------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Bantu kami dengan mematikan Adblock mu dan mengklik iklan 1x perhari diblog kami
------------------------------------
Chapter 54: Penunggang Paradua
Status
| |
Ras | Goblin |
Kelas | Lord; Ketua Kelompok |
Skill | Ruler of the Horde; Insurgent Will; Overpowering Howl; Swordsmanship B+; Insatiable Desire; King’s Soul; Ruler’s Wisdom I; Eyes of the Blue Snake; Dance at Death’s Border; Red Snake’s Eye; Magic Manipulation; Soul of a Crazed Warrior; Third Impact (The Third Chant); Instinct; Ruler’s Wisdom II; |
Perlindungan Ilahi | Dewi Underworld(Altesia) |
Aribut | Kegelapan; Kematian |
Bawahan Beast | High Kobold Hasu; (Lv1) Gastra (Lv20) Cynthia (Lv20) Orc King Bui; (Lv36) |
Ditengah malam, ketika aku mau beristirahat, seorang goblin Ganra tergesa-gesa menghadapku.
"R- raja! Musuh datang!" Katanya, panik.
"Duduklah dulu," jawabku.
"Tapi!"
Goblin itu mencoba mengeluh, tapi tekanan yang aku berikan membuatnya taktahan, dan duduk didepanku.
Ketika nafasnya pulih, aku bertanya.
"Ada berapa mereka? Dari mana mereka datang? Aku yakin sudah memberi tanggung jawab itu pada Giza..."
"B- baik. Musuh datang dari barat. Kami tidak tau ada berapa banyak mereka, tapi mereka adalah Penunggang Paradua!"
Barat yah?
"Apa mereka datang untuk menyerang kita?"
"T- tidak... Mereka berkumpul diperbatasan desa dan hanya mengamati kita."
"Aku mengerti."
Goblin itu mencoba berpendapat lagi, tapi aku menghentikannya.
"Aku harus kesana."
Meskipun ada kemungkinan mereka bersekongkol dengan Gaidga dan sekedar menunggu kedatangan mereka dari arah lain, aku harap bisa bernegosiasi dengan goblin Paradua ini.
Aku tidak ingin mengirim bawahanku asal-asalan dan membuat musuh yang tidak diperlukan.
Ganra kelihatannya menganggap Gaidga akan menyerang dalam waktu dekat, jadi mereka lebih keras sekarang.
"Jangan bertarung sampai aku suruh. Tapi jika mereka menyerang, jangan ragu untuk menyerang balik. Mengerti?"
"Y- ya."
Sementara ekorku memukul tanah, aku berdiri dan pergi.
Ekorku kelihatannya dalam keadaan bagus.
Sekarang... Seperi apa para Penunggang Paradua ini?
Ditengah malam, aku berjalan, takterganggu oleh kegelapan malam.
◆◇◆
Tidak seperti manusia. Goblin punya mata yang bekerja dengan baik walau dalam kegelapan. Kegelapan tidaklah mengganggu kami.
"Ho..."
Kaum Ganra punya tembok yang mengelilingi desa mereka yang terbuat dari pagar-pagar dan pepohonan yang secara alami tumbuh disana.
Desanya sendiri berada lebih tinggi dari daerah sekitar, jadi sangat mungkin untuk melihat musuh dari atas.
Tembok alami yang dibangun oleh Ganra merupakan tanaman rambat yang mengelilingi pucuk pepohonan. Itu tembok yang cukup tinggi hingga bila aku berdiri, aku bisa melihat semua musuh dibawah. Sungguh, pemandangan yang kulihat tidaklah terlalu mengagumkan.
"Jadi itukah para Penunggang Paradua," gumamku.
Menunggangi punggung beast sihir adalah para goblin yang memegangi kekang beast mereka.
Beast yang mereka tunggangi salah satunya adalah macan dengan bulu lebat. Tinggi mereka lebih tinggi dari penunggangnya, mereka bahkan bisa tertutupi dengan hanya kaki atau mulut beast mereka. Dan kilauan dimata mereka mengingatkanku dengan kucing.
Beast itu tiga kali lebih besar dari goblin, dia berloreng kuning hitam dan bisa dengan mudah melampaui tinggi tuan mereka.
Mereka berbaris mengelilingi desa, mengepung sambil memancarkan aura menakutkan. Itu adalah pemandangan yang pastinya membuat orang jadi pengecut seketika. Tapi daripada itu, apa yang membara didalam hatiku adalah kenikmatan!
–––Para penunggang ini adalah milikku!
Keinginan membara ku bagaikan seorang petualang yang menemukan harta karun.
Para penunggang ini sangatlah menarik.
"Apa itu benar? Penunggang Paradua datang untuk menyerang kita!?"
Suara itu tidak lain adalah Narsa yang baru memanjat dinding untuk menemui ku.
"Belum," jawab tenang ku.
"'Kenapa kau mengatasi ini dengan santai!?" Keluhnya. "Jika kau tidak menyerang mereka dari jarak jauh sekarang, kita akan diinjak-injak beast mereka! Mereka berbeda dengan Gaidga, kaki mereka sangat cepat!"
Kegelisahan terlihat diwajah orang-orang Ganra saat mereka mendengar percakapan Narsa dan aku. Mau bagaimana lagi, bagaimanapun juga, mereka baru diserang dan mengambil alih desa mereka beberapa hari lalu.
"Aku menunggu kepulangan Gijii," kataku.
Karena Gijii bisa menggunakan skill mengendap-endap, aku mengirimnya dulu untuk mengintai daerah sekitar. Tidak ada alasan untuk maju dan menyerang sekarang. Bahkan jika itu iseng-iseng berhadiah, tidak ada lucunya menyerang musuh, dan memasukan Gijii ke situasi berbahaya.
Narsa dengan berat menggantung kepalanya.
"Jika ini berubah menjadi pertempuran, aku harus membawa pasukan Ganra. Tunggulah sebentar lagi."
"...Aku mengerti."
Sementara Narsa dengan enggan berbalik, aku menghebuskan nafas lega.
Menyakitkan bukan? Pikirku. Jadi beginikah menghadapi bawahan yang tidak sepenuhnya mematuhiku.
Haruskah aku menghadapinya dengan lebih mengesankan seperti salah satu pemimpin suku itu?
Hmm... Terlepas dari itu, aku perlu memikirkan cara yang lebih baik.
Cepat atau lambat, para goblin itu akan semakin bertambah. Jadi kurasa akan lebih hebat jika aku bisa memiliki goblin yang mampu memahami apanya yang menguntungkan atau tidak, dan mengikutiku tanpa mengabdi sepenuhnya.
Tapi kami masih belum mencapai titik itu. Kami masih butuh persiapan, jadi untuk sekarang, semuanya harus diputuskan berdasar sistem hirarki yang dari peringkat atas sampai bawah.
Pendapat goblin selain dariku tidaklah dibutuhkan.
...Seperti yang diharapkan, Gilmi seharusnya orang yang memimpin Ganra. Tapi masalahnya adalah...
"Raja, aku kembali."
Suara Giji membangunkanku dari perenunganku, sehingga aku segera menatapnya.
"Bagimana?" Tanyaku.
"Ada 30 goblin Gaidga menuju selatan," jawabnya.
"Aku mengerti."
Goblin punya pandangan bagus meskipun malam.
Jadi rencana mereka pasti membuat Paradua manarik perhatian kami, dan sementara itu, goblin Gaidga menyerang desa.
"Aku seorang penunggang beast dari Paradua!" Teriak goblin Paradua.
Melihat kearah sumber suara itu, seorang penunggang bisa terlihat sedang mendekat, meminta negosiasi.
"Itu... Aluhaliha-sama?"
Kata-kata putri Ganra, Narsa, membuat mulutku meringkuk tersenyum.
"Seorang pria tak bermoral, yah?"
Jika kau mau kebaikan, maka aku akan merespon dengan sopan.
"Bagus. Narsa, kenapa kita tidak membalas mereka dengan kebaikan?."
"Eh? Apa mereka berencana membuat serangan kejutan?"
"Benar sekali. Dan demi menggunakan itu untuk melawan mereka... Panggil Giza."
Giza telah selesai membagi formasi bawahannya ketika datang bersama mereka. Ditengahnya juga ada Ra Gilmi, jadi aku harap mereka sudah menyelesaikan persiapan dengan baik.
"Kelihatannya kau tau apa yang perlu dilakukan."
Giza mengangguk seolah-olah tau apa yang mau kukatakan.
"Targetnya adalah Gaidga. Lakukan itu, dan Paradua seharusnya akan merasa terancam."
Sebuah senyum kejam muncul diwajah Giza, akupun membalasnya dengan senyum yang sama.
Sesudah para goblin berkumpul, aku memberi perintah pada bawahanku.
"Gigo Amatsuki, Gigu Verbana, sangat disayangkan, tapi kalian berdua akan menemaniku. Akan jadi tidak wajar bila hanya aku bagaimanapun juga."
"Dimengerti."
"Seperti yang engakau hendaki."
Si-goblin penguna pedang melengkuk yang menerima perlindungan ilahi dari dewa pedang mengangguk dengan martabat bersama si-goblin mantan pemimpin desa.
"Orang-orang Ganra, lindungi desa. Tidak usah menyerang, tapi jangan lakukan apapun yang membuat musuh tau bahwa kita tidak punya banyak orang."
Para goblin itu memucat saat mengangguk. Sesudah aku mengangguk balik, aku menatap Giza.
"Gijii, pimpin jalan. Sisanya ada pada kau, ikuti perintah Giza."
Didesa Ganra, ditengah Hutan Pohon Raksasa Melintir, tirai pertarungan kedua dibuka.
◆◇◇
Ditemani kelas noble, Gigu dan Gigo, juga dengan Narsa, aku pergi menemui Paradua.
Tempat kami bernegosiasi terletak diantara desa dan pasukan Paradua.
Itu adalah tempat terbaik mengingat busur Ganra dan mobilitas penunggang Paradua.
Juga, meski kami bernegosiasi, kami masih mengenakan armor.
Aku membawa great swordku dipunggung, Gigo dengan dua pedang melengkungnya disarungkan dipinggang, Gigu dengan pedang panjangnya dibahu, kapak di pinggang, dan Narsa juga membawa Busur Meteor bersamanya.
Menemui kami adalah perwakilan Paradua yang mengendarai beast sihir raksasanya.
Beast raksasa itu seperti macan dengan belang kuning hitam, tapi hitam lebih dominan. Kedua matanya bersinar begitu menyilaukan saat cahaya bulan mengenai matanya. Sementara ujung cakarnya menusuk tanah, beast itu memancarkan aura yang sesuai untuk seorang Raja hutan. Dan meski janggutnya menutupi sebagian, taring besarnya bisa terlihat.
Menunggangi beast itu adalah goblin biru.
Dia adalah kelas noble. Goblin dari Suku mungkin berbeda dari kami yang goblin biasa, tapi warna kulitnya sama.
Keriput terlihat diwajah goblin itu, itu bukanlah wajah muda, tapi wajah itu menunjukan bahwa dia sudah hidup bertahun-tahun. Bahkan bulu yang memanjang dari kepala hingga punggungnya sudah memutih. Goblin itu sudah tua.
Dia menggenggam kekang ditangannya, sementara tangan lainnya dipedang yang ada dipinggangnya. Dengan mulut yang membentuk garis lurus, dia memberikan kesan orang yang tidak pernah meminta. Dia menatapku langsung dengan tatapan yang begitu keras sampai terlihat itu membuat suara.
"Muda sekali..." Gumam kelas noble didepanku.
Suaranya begitu dalam. Itu pendek namun bergema didalam tubuhku.
"Sudah lama, Aluhaliha-sama," sambut Narsa.
Aku menyerahkan perwakilan pada Narsa, jadi aku hanya menyaksikan percakapan mereka dengan tenang.
"Raja," bisik Gigu, yang berdiri disampingku.
Ada tiga pengawal didekat goblin yang dipanggil Aluhaliha tu.
Masing-masing dari mereka mengendarai beast sihir. Mundur bukanlah pilihan, jadi hanya ada satu pilihan tersisa bagi kami.
"Jika begitu, tindas pengawal itu," kataku.
Gigu dengan tenang mengangguk dan memberitahu Gigo perintahku.
"Apa yang membawa mu kesini, Aluhaliha-sama?"
Aluhaliha mendengus taktertarik terhadap kata-kata Narsa. Dia menajamkam tatapannya.
"Ayo hentikan tindakan takberguna ini..." Katanya.
Kelihatannya dia tidak tertarik menghina Narsa.
"Menyerahlah," mintanya. "Lakukan itu, dan aku akan mengampuni nyawamu."
"Apa Paradua sudah menyerah pada Gaidga?" Tanya Narsa.
Melihat Tatapan memohon Narsa, Aluhaliha tertawa terhadap kesuramannya.
"Hmph. Seseorang yang meminta bantuan dari orang luar untuk campur tangan masalah suku tidak berhak mengkritikku."
Jadi dia menyerah.
"Apa yang terjadi dengan kebanggaan Paradua yang kau warisi dari nenek moyang?!" Tanya Narsa.
Aluhaliha tertawa.
"Sesuatu seperti itu... Sudah ku buang ke anjing!" Bentaknya sambil memberi tekanan.
Sementara Narsa mundur tidak bisa berkata-kata, aku menyiapkan diriku bersiap untuk bertarung.
Goblin ini ingin bertarung.
Yah... Paling tidak niatnya sudah jelas. Satu-satunya masalah adalah apakah dia akan membuang Narsa atau tidak.
Narsa adalah alasan kenapa Ganra tidak mau mengikuti keinginanku.
Sebagai prajurit, tidak bagus memiliki lebih dari satu panutan.
Tapi apa itu berarti aku harus menyingkirkannya dulu? Jika aku menanyakan diriku apakah itu benar atau salah, maka... Jawabannya sudah jelas.
Aku raja.
Dia yang sudah kegilangan harga dirinya bukan lagi seorang Raja, melainkan monster berkekuatan.
Jadi aku akan menyelamatkannya. Paling tidak aku harus menyelamatkannya.
Aluhaliha pasti melihat senyum diwajahku saat dia menatap tajam terhadapku.
"Anak muda, jika kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan saja."
"Seseorang yang sudah kehilangan harga dirinya bukanlah Raja."
Dia menggertakan giginya.
Ada jarak diantara kami, tapi suara gertakan giginya terdengar hingga telingaku.
"Bocah brengsek!" Seru Aluhaliha.
Saat amarahnya meledak, ketiga pengawal dibelakangnya mengeratkan senjata mereka.
Gigu dan Gigo melangkah maju didepanku.
Aku juga menggenggam great swordku.
Jari kelingkiking ku... Jari cincin ku... Jari tengahku... Sementara aku memusatkan kekuatan pada pegangan pedangku, aku mengukur jarak diantara aku dan musuh.
Ketegangan ini seperti es diatas kolam saat kami mengukur jarak diantara kami.
Terpengaruh dengan rasa haus darahku, beast itu mulai menggeram.
Tiba-tiba saja, dari kejauhan, lolongan mulai bergema.
Aluhaliha membelalak terhadap arah teriakan itu untuk sesaat.
"Sayang sekali, rencanamu sudah ketahuan,"
"Apa?" Tanya Aluhaliha saat menatapku dengan tatapan yang bahkan bisa membuat iblis lari terbirit-birit.
"Kau berencana memanggil kami untuk bernegosiasi sementara Gaidga mengambil alih desa, benar?"
Aluhaliha mengalihkan matanya sesaat untuk bepikir.
Suara tadi mulai mendekati kami.
"...Kita kembali," kata Aluhaliha. "Negosiasi sudah gagal."
Sementara dia menarik kekangnya, dia berbalik dan pergi bersama pengawalnya.
Saat aku menyaksikan dia lenyap kedalam kegelapan, aku bertanya pada Gigo.
"...Menurutmu gimana, Gigo?"
Aku ingin mendengar apa yang dipikirkan Gigo, jadi aku bertanya.
"Jika kau memerintahku untuk menebasnya, maka akan ku lakukan, tapi..."
"Tapi apa?"
"Dia cukup kuat," senyum berani Gigo Amatsuki.
"Bagaimana menurutmu, Gigu?" Tanyaku.
"Dengan tiga pengawalnya, dia pastinya lawan yang menyusahkan... Dia seharusnya masalah terbesar dibanding Gaidga, bukan?"
Menurutku juga begitu.
Goblin tua dari Paradua, Aluhaliha.
Dia tua, tapi dia pasti tidak lemah.
"Menarik," gumamku.
Sangat menarik... Jika aku bisa menambahkan mereka kedalam pasukanku, maka kerajaanku pasti akan berkembang.
"Kita kembali. Narsa, kau juga."
Sementara aku memanggil Narsa yang masih termenung, kami kembali ke Desa Ganra.
Sebelumnya | List | Selanjutnya
Comments
Post a Comment